Senin, 14 Desember 2015

SEJARAH PASURUAN




Pasuruan Raya bisa dibilang sebagai mempunyai lingkungan fisis-alamiah yang beragam. Antara suatu sub-area dengan sub-area lain boleh jadi berkarakter ekologis yang berbeda, dan karenanya aktifitas sosial-budaya yang berlangsung di atasnya juga berlainan. Pada sub-area di sisi utara Pasuruan terbentang Laut Jawa, tepatnya perairan laut antara ujung timr Jawa Timur dan Pulau Madura. Sementa-ra di sisi timur bertengger Gunung Tengger dan di sisi barat-laut menjulang tiga gunung yang bersebelahan, yaitu Gunung Arjuno beserta anaknya “bukit Ringgit, Welirang (Ardi Kumukus) dan Gunung Penanggungan (Ardi Pawitra).
Dataran bisa dikatakan berada antara Pantura Jawa dan gunung-gunung tersebut, yang pada kini cenderung dijadikan pemusatan (aglomerasi) bagi permukiman sekaligus se-bagi tempat bagi berlangsungnya aneka kegiatan hidup manusia. Namun di masa lalu, tepatnya pada Masa Hindu-Buddha, justru pada lereng gunung-gunung yang diyakini sebagai gunung suci (holy mountain) ini aktivitas sosial-budaya diselenggarakan. Bahkan, suatu tempat di lereng utara Gunung Penanggungan, yaitu pada situs Jedong, pernah dijadikan salah satu ibukota Kerajaan Mataran semasa peme-rintahan raja Airlangga, dengan nama ibukota Wotanmas – kini berubah menjadi nama Dukuh Watanmas Jedong.
Kawasan Pantura Jawa di wilayah Pasuruan adalah lokasi penting. Bukan saja karena di lokasi ini orang dapat mengusahakan pencaharian kenelayanan, tapi juga beberapa tempat di Pantura Jawa pada wilayah Pasuruan dapat dikembankan menjadi pekabuhan laut. Pada masa lalu, Pasuruan memiliki dua pelabuhan, yang acap disebut dengan “Pasuruan I dan Pasuruan II”. Pelabuhan Pasuruan I di muara Sungai Porong yang dulu berlokasi di antara Bangil – Rembang bahkan menjadi pelabuhan penting. Dari pelabuhan inil Raden Wijaya menyeberang ke Songhenep di Madura Wetan untuk meminta perlindungan kepada Aryya Wiraja, Keberadaan pelabuhan ini juga menjadi faktor penyebab bagi tumbuh berkembangnya Bangil sebagai kota dagang yang dimotori oleh komunitas Arab dan Cina Muslim.

Geostrategis Pasuruan

Pasuruan sebagai suatu wilayah geografis tak cukup sekedar dilihat dalam lingkup internal, yaitu dalam batas-batasnya sebagai kabupaten tersendiri, namun perlu pula diamati dalam relasinya dengan daetaah-daerah lain, khususnya daerah tetangganya. Dengan analisis reliasional ini, akan tergambar bagimana posisi sua-tu darah dalam bentang geografis yang lebih luas, dan seterusnya gambaran posisi rah yang geografisnya itu bisa dipergunakan untuk melakukan analisis mengenai peran dan latar perkembangannya. Tidak sedikit bahwa suatu daerah yang lantaran geostrategisnya memainkan peran penting disuatu ka wasan dan lantaran itu pula daerah tersebut mengalami proses perkembangan relatif pesat. Kendati demikian, geostrategis bukan satu-satu faktor atau faktor paling utama yang menjadi penentu bagi peran dan perkembangan daerahnya.
Bentang luas wilayah Kabupaten Pasuruan menjadikan daerah ini mempunyai: (a) sub-areal bahari di Pantura Jawa, (b) sub-sub areal bergunung-gunung di lereng dan lembahTengger, Arjuna-Ringgit, Welirang dan Penanggungan, dan (3) sub-areal dataran di antara keduanya, Kabupaten Pasuruan dengan demikian memiliki sub-sub areal geografis yang beragam. Antara satu dengan lainnya terjalin oleh jaringan jalan, baik jalan darat ataupun jalan air. Bahkan, sejumlah dalam wilayah Kabupenten Pasuruan merupakan jalan antar daerah (kota/kabupaten) serta antar propinsi. Jalan air, khususnya jalur laut pada “jalur simpang Selat Madura” membuka hubungannya dengan kawasan di Pulau Madura dan pulau-pulai lain di Nusantara.

Pasuruan Masa Awal dan Perkembangan Islam

Selain nama “Pasuruan” yang beberapa kali disebut dalam Nagarakretaga-ma, ada nama lain yang dilokasikan di wilayah Pasuruan yang diberitakan dalam sumber data tekstual pada Masa Awal Perkembangan Islam, yaitu nama “Gamda”. Nama ini beberapa kali diberitakan oleh Tome Pires dalam “Suma Oriental”. Pada dasawarsa pertama abad ke-16 yang menjadi raja di Gamda adalah putra “Guste Pate”– mahapatih kerajaan besar “kafir” (Majaphait). Ia adalah menantu dari “Pa-te Pijntor”, yaitu raja “kafir” yang berkuasa di Blambngan, dan sekaligus menantu raja Madura. Dengan demikian, secara ganeologis penguasa Pasuruan masih ber-kerabat (putra) dari penguasa Majapahit, yaitu Guste Pate – bisa diidentifikasi dengan Penguasa pada “kantong kekuasaan Hindu” Sengguruh di Malanag Sela-tan. Menutut informasi Pires, kala itu Sengguruh termasuk dalam wilayah Gamda.
Selain itu terdapat jalinan kekerabatan antara Pasuruan dengan Blambangan serta Pasuruan dengan Madura lewat perkawianan poltik. Secara politis kala itu kedu-dukan Pasuruan [sebagai daerah kekuasaan Hindu] terbilang masih kuat, meski di daerah pesisiran lainnya pada Pantura Jawa telah tumbuh Kasultanan Islam, yakni Demak dan kemudian Giri. Para penguasa ‘kafir” di pedalaman Jawa Tumur, ter-masuk juga Gamda, bersemangat untuk menentang pasukan-pasukan Islam yang mendesak masuk ke wilayah Jawa Timur.
Pires menyebut penguasa Gamda (Pasuruan) dengan nama “Pate Sepetat”. Nama “Sepetat” adalah pengucapan dalam lidah orang Portugis untuk tokoh yang dalam ‘Babad Pasuruan” dinamai “Menak Sepetak, atau Menak Supetak” sebagai  pendiri Kota Pasuruan. Dalam legenda lokal ini Sepetak dikisahkan sebagai ber-ayah seekor anjing. Metafora ini serupa dengan legenda totemis Sangkuriang. Ada kemukinan pengkisahan bahwa ayah Sepetak sebagai seekor “anjing” adalah pen-citraan bernada merendahkan, yang ibaratkan orang “kafir” sebagai anjing, hewan yang najis. Penyebutan gelar “menak” bagi pengusa di Pasuruan itu memberi pe-tunjuk bahwa legenda ini berasal dari pasca Masa Hindu-Buddha.
Dalam catatan Pires, jabatan yang disandang oleh Sepetat adalah “Pate”, berasal dari kata “patih” ataupun “mahapati[h]”, atau bisa jadi dari kata “pati”. Sedangkan jabatan mentua-nya, pengusa di Blambangan, adalah “Pijntor”, suatu transelir Potugis dari istilah Jawa Kuna “Bhatara”. Informasi “Suma Oriental” ini memberi gambaran bahwa hingga permulaan tahun 1500-an pengaruh Hindu-Buddha di Pasuruan masih cu-kup kuat, lantaran pemegang tampuk kekuasaan di sini adalah keturunan penguasa Majaphit dan sekaligus menanti penguasa Blambangan da Madura. Atas bantuan mertuanya, Pate Sepetat memerangi raja Surabaya dan menghalang-halangi proses penyebaran Islam di Jawa Timur dan ujung timur Jawa.
Pengaruh budaya-politik Demak atas Pasuruan baru berlangsung pada ta-hun 1535, empat tahun setelah penaklukan atas Surabaya. Sedangkan penaklukan terhadap Sengguruh baru bisa direalisasikan 10 tahun pasca penaklukan Pasuruan. Kendati penguasa di Pasuruan berhasil dikalahkan oleh pasukan Demak di bawah pimpinan Sulytan Tenggono, namun bukan berarti bahwa dengan serta merta pada waktu itu seluruh warga Pasuruan berhasil diIslamkan.
Ketika Sultan Tenggono berhasil menaklukkan Pasuruan dalam rengka ekspansi Demak ke wilayah Jawa Timur untuk menundukkan para pemngasa daerah yang masih “kafir”. Islamisasi Demak ke Jawa Timur berlangsung bersamaan dengan ekspansi politik kasultanan Islam perdana di Jawa ini.
***
Mesti diakui bahwa tulisan ini bukanlah rekonstruksi lengkap dan penulisan sejarah (historiografi) final tentang “Sejarah Daerah Pasuruan”. Namun, lebih te-pat untuk dinyatakan sebagai rintisan awal ke arah penulisan Sejarah Daerah yang lebih komprehensif. Oleh karena itu, ke depan perlu diusahakan historiografi bagi Sejarah Daerah Pasuruan, dengan terlebih dulu melakukan riset hsitoris, arkeolo-gis dan etnografis secara seksama dan menyeluruh, dalam rangka eksplorasi dan penghimpunan data bagi upaya lanjut berupa penulisan Sejarah Daerah Pasuruan.
Hasil kegiatan ini diharapkan kontributif bagi masyarakat dan pemerintah Pasuruan Raya. Setidaknya sebagai reverensi untuk lebih mengenal, memahami, dan lebih jauh untuk menarik teladan-teladan bijak dari aktifitas para pendahulu. Realitas multi-sosial dan multi-klitural Pasuruan, yang antara lain tercipta oleh di-namika sejarahnya, hanya mampu dijelaskan dengan telaah berperspektif historis. Telaah yang demikian, pada sisi lain bermanfaat untuk membuka kesadaran selu-ruh warga bahwa harmoni kehidupan di wilayah ini hanya dapat diwujudkan bila warga Pasuruan tahu, faham dan sadar bahwa masyarakat dan budayanya adalah plural, dimana masing-masing pemangku tradisi lokal dan tradisi etnis amat boleh jadi memiliki marakter yang berlainan. Kerukunan sosial sebagai prasyarat bagi harmnonisasi sosial sangat tergantung pada kesediaan warga untuk menerima rea-litas kemajemukan tersebut. Oleh karena itu toleransi, adaptasi dan interaksi atas dasar kesetaraan sosio-kultural menjadi “kata kunci” bagi harmoni sosial di dae-rah Pasuruan. Sebaliknya, pemaksaan kehendak pihak mayoritas terhadap pihak minoritas bukan saja tidak realistis, namun sekaligus mencederai rasa kemanusian terhadap masyarakat majemuk semisal di Pasuruan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar